Misteri seputar kerajaan Sriwijaya yang jarang sekali dibahas. Hal itu dapat kita maklumi, mengingat cerita-cerita seputar Kerajaan Sriwijaya tidaklah mudah ditemukan seperti kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara ini.
Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti “kemenangan”
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritime di Sumatera Selatan yang pada masa kejayaannya menguasai hampir sebagian Nusantara, sehingga sering disebut-sebut sebagai Negara pertama di Nusantara.
Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).
HISTORIOGRAFI
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "Sanfoqi", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
Bukti-bukti keberadaan kerajaan Sriwijaya daspat diketahui dari prastasi-prastasi yang ditemukan di daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah Kerajaan Sriwijaya.
Prasastasi-prasastasi itu ditulis dengan menggunakan huruf Palawa dan berhasa Melayu Kuno.
Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti “kemenangan”
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritime di Sumatera Selatan yang pada masa kejayaannya menguasai hampir sebagian Nusantara, sehingga sering disebut-sebut sebagai Negara pertama di Nusantara.
Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).
HISTORIOGRAFI
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "Sanfoqi", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
Bukti-bukti keberadaan kerajaan Sriwijaya daspat diketahui dari prastasi-prastasi yang ditemukan di daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah Kerajaan Sriwijaya.
Prasastasi-prasastasi itu ditulis dengan menggunakan huruf Palawa dan berhasa Melayu Kuno.
- Prasasti itu diantaranya adalah Prastasi Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang ditemukan di tepian Sungai Talang dekat Palembang
- Prastasi Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi ditemukan di daerah Talang Tuo sebelah barat Palembang di Palembang
- Prastasi Telaga Batu abad ke-7 Masehi ditemukan dipinggiran kota Palembang di Palembang
- Prastasi Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi yang ditemukan dekat sungai Menduk di Pulau Bangka.
- Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi ditemukan ditepian Sungai Pisang di Lampung Selatan
- Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
- Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah
Selain Prasasti tersebut diatas, masih ada beberapa prasati lainnya yang menerangkan Kerajaan Sriwijaya Berbahasa Sanskerta atau Tamil.
- Prasasti Ligor di Thailand yang ditemukan di Pantai Timur Thailand
- Prasasti Kanton di Kanton
- Prasasti Siwagraha
- Prasasti Nalanda di India
- Piagam Leiden di India
- Prasasti Tanjore di India
- Piagam Grahi
- Prasasti Padang Roco
- Prasasti Srilangka
Sumber berita Tiongkok
- Kronik dari Dinasti Tang
- Kronik Dinasti Sung
- Kronik Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan I Tsing
- Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan
Sumber teramat penting lainnya diperoleh melalui catatan perjalanan seorang pendeta Budha dari China yang bernama I-Tsing.
Ia pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M dan tinggl selama enam bulan. Ia kembali lagi pada tahun 688 M dan tinggal selama 7 tahun. Selama di Sriwijaya, I-Tsing berhasil menerjemahkan beberapa buah kitab Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa China.
Awal Berdirinya Dan Raja-Raja Yang Pernah Berkuasa Di Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan pada tahun 683 M oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Ia menjadi raja pertamanya dengan gelar Dapunta Hyang Sri Jayanegara. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami masa keemasan. Jalur perdagangan antara Sriwijaya dan China berkembang pesat.
Dalam catatan Dinasty Tang dikatakan, bahwa pada abad ke-7, di Pantai Timur Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan yang mereka sebut She-Li-Fo-She atau Sriwijaya. Semula Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minangga Tamwan (tanah kelahiran Dapunta Hyang).
Kemudian Dapunta Hyang mengadakan sebuah perjalanan suci dengan sebuah kapal besar. Dalam perjalannya, pria berdarah India Mongolia ini membawa 200.000 orang tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
.
Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.
Pada tahun 680 di bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Dapunta Hyang bersama pasukannya berhasil menaklukkan setiap wilayah yang disinggahinya kecuali Jawa Tengah.
Hal ini disebabkan karena pada masa itu, di Jawa Tengah ada sebuah Kerajaan yang bernama Kalingga (Holing) yang dipimpin seorang Ratu bernama Ratu Sima. Dapunta Hyang adalah teman baik dari Ratu Sima. Karena itulah Dapunta Hyang tidak berniat menguasai tanah Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Dalam perjalanan suci itu pula, Dapunta Hyang beserta pasukannya menaklukkan Kerajaan Melayu, Kerajaan Jambi Hulu dan menjadikan Pulau Bangka sebagai Pelabuhan Simpang Tiga, jalur pelayaran India-Indonesia-China. Setelah puas dengan masa kejayaannya, Dapunta Hyang memilih hidup mengasingkan diri sebagai pertapa dan konon Dapunta Hyang tidak pernah mati melainkan moksa menjadi seorang Resi.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya berlanjut pada kepemimpinan dari seorang perwaris tahata dan dia bernama Dharma Setu.
Dharma Setu merupakan murid yang juga anak angkat dari Dapunta Hyang yang memilih untuk menjaga keperjakaannya, karena ia mempunya keyakinan kuat bahwa dengan menjaga keperjakaannya, kesaktiannya tidak akan berkurang melainkan bertambah. Raja Dharma Setu terus mengembangkan sayap hingga ke Semenanjung Melayu. Hal ini dibuktikan dengan adanya pangkalan armada angkatan laut Sriwijaya di Semenanjung Melayu tepatnya di daerah Ligor.
Ekspansi kerajaan ke Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya.
Untuk mencegah hal tersebut, maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Palembang. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.
Pada masa pemerintahan Raja Dharma Setu, bala tentara Sriwijaya yang terkenal perkasa bukan hanya terdiri dari manusia saja melainkan para siluman-siluman yang juga turut menjadi angkatan perang dari bala tentara Sang Raja. Hingga saat ini pun tentara-tentara gaib tersebut tetap setia pada rajanya.
Sekitar tahun 850 M, di pulau Jawa (Jawa Dwipa) terjadi pemberontakan di dalam Kerajaan Mataram Kuno. Pemberontakan dipimpin oleh putera mahkota dari Raja Samaratungga yang bernama Balaputera Dewa. Akan tetap pemberontakan itu berhasil dipatahakan oleh Rakai Pikatan dan mau tak mau Balaputera Dewa harus melarikan diri.
Dipulau Sumatera (Swarna Dwipa) adalah tujuannya dan Kerajaan Sriwijaya masih pada masa kejayaannya hingga disegani kawan dan ditakuti lawan. Raja Dharma Setu yang ketika itu telah berusia lanjut mendengar kabar bahwa ada seorang pelarian dari Mataram Kuno yang ingin minta perlindungan dari negerinya.
Mengetahui orang itu adalah seorang putera mahkota, tentu saja dia menerima dengan tangan terbuka. Beliau juga melihat bakat terpendam dalam diri Balaputera Dewa yang membuatnya mengangkat murid dan juga sebagai anaknya sama seperti yang dilakukan Dapunta Hyang.
Setelah menguasai semua kesaktian dan ilmu kepemimpin oleh Raja Dharma Setu, Balaputera Dewa diangkat menjadi Raja Sriwijaya menggantikan dirinya.
Raja Dharma Setu yang telah lanjut usia itu mengikuti jejak Sang Guru sekaligus ayah angkatnya untuk menjadi pertapa.
Pada masa pemerintahan Balaputera Dewa, Kerajaan Sriwijaya terus membentangkan lagi sayap kerajaannya. Bukan hanya perekonomian saja yang berkembang pesat namun juga bidang pendidikan. Pada masa pemerintahan Raja Balaputera Dewa, banyak putera-puteri Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu agama Budha di perguruan tinggi Nalanda di Benggala, India.
Tahun 860 M, raja dari kerajaan Pala di Benggala, India memberikan sebidang tanah pada Raja Balaputera. Diatas tanah itu didirikan sebuah biara oleh Raja Balaputera Dewa untuk tempat tinggal putera-puteri Sriwijaya yang menuntut ilmu disana. Banyaknya putera-puteri Sriwijaya yang menjadi ahli agama Budha membuat Sriwijaya menjadi pusat ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan agama Budha dan ilmu bahasa sansekerta.
Banyak pendeta dari Tibet dan China yang belajar disana. Ini dibuktikan dari sebuah berita China yang ditulis oleh I-Tsing. Masih menurut I-Tsing, hampir setiap harinya para pelajar/pendeta dari Tibet dan China berdatangan ke Sriwijaya. Kehadiran mereka semakin memperkaya keberadaan pengetahuan tentang agama Budha.
Para pelajar/pendeta dari negeri seberang itu melakukan penelitian dan mempelajari ilmu yang ada pada waktu itu. I-Tsing sempat menganjurkan para pendeta China yang ingin belajar ke India sebaiknya terlebih dahulu mendapatkan pelajaran di Sriwijaya selama dua atau tiga bulan.
Sebab di Sriwijaya ada pendeta Budha yang masyur dan telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya. Ia bernama Sakyakirti. Beliau adalah salah seorang maha guru agama Budha di Sriwijaya. Atas bantuan seorang guru besar, agama Budha dari India y ang bernama Dharmapala, perguruan di Sriwijaya mencapai kemajuan pesat.
Pada masa itu, Sriwijaya dikenal sebagai pusat perdagangan, pusat penyeberangan agama Budha, dan juga sebuah negara maritim yang makmur berkat jasa raja-rajanya. Hingga pada masa pemerintahannya, Raja Balaputera Dewa pun Sriwijaya tetap memperluas kembali wilayah kekuasaannya. Sriwijaya menganut sistem politik ekspansif (perluasan kekuasaan).
Pada awal abad ke-9, Raja Balaputera Dewa dapat memperluas wilayah Sriwijaya. Wilayah itu meliputi Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan. Dalam kepemimpinaan Raja Balaputera Dewa, wilayah kekuasaan Sriwijaya semakin luas dan armada-armada perangnya terutama angkatan lautnya menjadi sangat besar dan kuat.
Raja Balaputera Dewa merupakan satu-satunya yang mewariskan tahtanya pada keturunannya. Dari anak ke cucunya hingga ke cicitnya yang bernama Ratu Dewayani. Pada masa itu Ratu Dewayani baru beranjak remaja namun kepintarannya dalam sistem kepemerintahan tak perlu diragukan lagi. Begitu juga kesaktiannya. Senjatanya berupa cakram emas sangat ditakuti lawan.
Untuk kedua kalinya, Sriwijaya tamu agung dari negeri seberang yaitu pulau Jawa. Tamu agung itu adalah seorang laki-laki gagah dan tampan. Beliau juga merupakan seorang bangsawan dari kerajaan di pulau Jawa.
Parameswara namanya, anak tertua dari Brewirabhumi yang merupakan seorang adipati dari Blambangan. Parameswara sengaja meninggalkan negerinya karena dirinya tak suka pada sifat ayahnya yang rakus akan kekuasaan.
Sang ayah menganggap dirinya paling pantas naik tahta kerajaan Majapahit dan ia sangat tidak terima ketika saudara lain ibunya yang bernama Kusumawardhani yang menjadi penguasaan di Majapahit.
Kedatangan Parameswara di Sriwijaya disambut baik oleh Ratu Dewayani dan tangan kanannya yang bernama Raden Sri Pakunalang yang merupakan panglima tertinggi di Kerajaan Sriwijaya. Hingga ahkhirnya Parameswara menjadi saudara angkat Raden Sri Pakunalang.
Parameswara tidak mempunyai jabatan apapun di Sriwijaya, namun dirinya membantu Raden Sri Pakunalang dalam menghadapi serangan-serangan dari luar terutama dari Kerajaan Cola yang dipimpin Raja Rajendra Cola Dewa.
Prestasi Parameswara di medan pertempuran sungguh luar biasa.
Dengan segenap ilmu kesaktian dan semangat juangnya yang tinggi Parameswara berhasil membunuh panglima-panglima perang musuh. Terlebih ketika Parameswara menjadi murid sosok gaib Dapunta Hyang. Hingga akhirnya kerajaan Cola mengutus ksatria terhebatnya untuk duel dengan ksatria dari Sriwijaya.
Colamandala namanya, seorang putera mahkota dan ksatria terhebat disana. Sedangkan kerajaan Sriwijaya diwakilkan oleh ksatria baru mereka yaitu Parameswara. Duel sengit pun terjadi dua orang ksatriaa, tetapi di duel tersebut menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam bertarung.
Pertarungan yang penuh dengan benturan ilmu-ilmu kanuragan tingkat tinggi dan dimenangkan oleh Parameswara. Sesuai perjanjian maka Kerjaan Cola menghentikan serangannya terhadap Kerajaan Sriwijaya.
Nama Parameswara semakin harum. Setiap penjuru Sriwijaya mengenal Parameswara hingga akhirnya beliau menjadi Raja Sriwijaya dengan gelar Cudamaniwarmadewa yang diberikan oleh Dapunta Hyang.
Masa pemerintahan Raja Cudamaniwarmadewa diisi dengan perdamaian dan kemakmuran bagi rakyat Sriwijaya dibawah kepimpinannya. Sriwijaya kembali mengulang masa kejayaannya.
Kabar diangkatnya Parameswara menjadi Raja Sriwijaya terdengar sampai ke telinga ibunya yang masih menetap di Blambangan.
Atas permintaan Parameswara, sang ibu akhirnya hijrah ke Sriwijaya serta adiknya yang bernama Raden Mas Kalirang. Parameswara merupakan anak yang berbakti pada ibunya. Walaupun sudah siap ke medan perang dengan pakaian perangnya, namun jika ibunya mengatakan "tidak" maka Parameswara mengurungkan niatnya.
Pada suatu ketika Raja Cudamaniwarmadewa sedang bertapa, tiba-tiba dirinya didatangi sosok gaib yang merupakan gurunya sendiri yaitu Dapunta Hyang.
"Hai, Parameswara! Ketahuilah sejak dahulu aku telah mengetahui bahwa ada agama terakhir dengan nabinya yang bernama Muhammad," ucap Dapunta Hyang.
"Maksud guru, saya harus memeluk agama itu?" Tanya Parameswara.
Dapunta Hyang tidak langsung menjawabnya, namun ia menunjukkan suatu arah yang tiba-tiba dari arah tersebut terlihat seberkas cahaya putih yang melesat cepat menuju Parameswara yang sedang duduk bersila. Setelah berhasil meraih cahaya yang sebenarnya berupa keris dari besi kuning itu barulah Dapunta Hyang berkata kembali.
"Parameswara, pada keris itu terdapat huruf arab gundul yang menceritakan tentang kebesaran Yang Maha Kuasa atas alam semesta ini. Kau telah mendapatkan Hidayah dari-Nya.."
Setelah kejadian itu, Parameswara sering bermimpi yang aneh. Dalam mimpinya, ia melihat kota Mekah dengan kebesaran-kebesaran Allah disana dan banyak hal-hal lainnya yang ia alami. Hingga pada suatu hari Dapunta Hyang kembali mendatangi Parameswara.
"Parameswara, mulai hari ini aku bukan lagi gurumu. Jodoh kita telah selesai," tutur Dapunta Hyang.
"Maksud guru?" Parameswara kebingungan.
"Pergilah ke pesisir Sungai Ogan. Disana kamu akan menemui seseorang yang telah menunggumu." Lanjut Dapunta Hyang.
"Siapa orang itu?" Tanya Parameswara penuh kebingungan.
"Seorang penyebar agama Islam dari Timur Tengah dan Beliau akan menjadi gurumu. Tapi ingat, jangan kau main-main dengannya karena ilmunya tak dapat ku lihat dengan mata bathinku, aku pun segan dengannya. Mengerti kau ?" Ucap tegas Dapunta Hyang.
"Mengerti, Raja Dapunta!" Jawab Parameswara.
Parameswara segera berangkat ke tempat yang dikatakan Dapunta Hyang, yakni pesisir Sungai Ogan. Tiba-tiba kedua matanya melihat sebuah gubuk dan hanya beberapa meter dari gubuk itu terlihat seorang kakek tua sedang sibuk membuat perahu. Parameswara segera mendekat dan bertanya pada orang tua itu.
"Orang tua, apa kau tahu tempat tinggal seorang yang berasal dari Timur Tengah?" Tanya Parameswara.
"Kau bertanya padaku?" Tanya orang tua itu.
"Tentu saja aku bertanya padamu!" Parameswara sudah mulai kesal.
"Dari penampilanmu, tentu kau bukan orang biasa. Tapi sayang kau tak punya sopan santu terhadap orang yang lebih tua. Lagi pula, buat apa kau mencari orang yang kau maksudkan itu?" Lanjut orang tua itu tetap penuh ketenangan.
"Lancang kau orang tua! Beraninya kau berbicara seperti itu di depan Raja Sriwijaya!" Berang Parameswara.
"Oooo.......ternyata kau Raja Sriwijaya. Maaf jika hamba berkata lancang. Hamba hanya orang biasa," orang tua itu menundukkan kepala memberikan hormat.
"Ya, benar! Aku Raja Cudamaniwarmadewa, Raja Sriwijaya!" Parameswara berkata dengan penuh percaya diri.
"Dau kau murid dari Dapunta Hyang?" Orang tua tersebut kembali bertanya.
"Darimana kau tahu?" Parameswara sungguh terkejut.
"Kau juga disuruh Dapunta Hyang untuk belajar agama Islam?" Lajut orang tua tersebut.
Parameswara sungguh terkejut. Dia tidak menyangka orang tua didepannya itu adalah orang yang dicari-carinya. Betapa malunya ia telah menyombongkan diri didepan orang yang diharapkan menjadi gurunya.
"Maafkan saya, Tuan! Saya bodoh sekali," tutur bijak orang otua yang mempunyai julukan Wali Putih.
Semenjak itu, Parameswara telah resmi menjadi murid dari Wali Putih yang juga telah meng-Islam-kan dirinya. Parameswara kini bernama Iskandar Zulkarnaen Alamsyah. Sebuah nama yang bernuansa Islam yang diberikan oleh Sang Guru.
Ia yang telah berganti namaa menjadi Iskandar Zulkarnaen Alamsyah itu menghabiskan hari-harinya untuk belajar agama Islam. Dan jejaknya diikuti oleh Raden Sri Pakunalang yang menjadi mualaf. Sejak saat itu, diantara mereka tidak ada batas raja dan panglimanya.
Dengan resminya Cudamaniwarmadewa menjadi muslim tentu saja membuat pro dan kontra dikalangan petinggi-petinggi istana. Para panglima perang seperti Pangling Bagus Karang, Panglima Bagus Sekuning, dan Panglima Tuan Junjungan mengikuti jejak raja menjadi mualaf.
Namun dikalangan menteri-menteri dan penasehat kerajaan mengecam tindakan sang raja, karena menurut mereka Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Pendidikan Agama Budha. Demi menghindari perseturan dilingkungan kerajaan, maka sang raja melepaskan gelarnya sebagai Raja Sriwijaya bernama Cudamaniwarmadewa dan menegaskan kini namanya Iskandar Zurkanaen Alamsyah.
Bersama pengikut-pengikut setianya, pergi meninggalkan kerajaan. Baru saja beliau hendak melangkah melewati pintu gerbang, tiba-tiba seorang hulubalang kerajaan mencegat dan mencaci maki mereka. Hal itu tentu saja membuat murka mantan Raja Sriwijaya.
Dengan emosi yang memuncak, Iskandar Zulkarnaen Alamsyah menghentakkan kakinya ke bumi. Seketika itu juga alam seakan meluapkan amarahnya. Hujan badai, gempa bumi, kilat yang menyambar dan angin yang bertiup kencang tumpah menjadi satu ditambah meluapnya air laut yang meluluh lantakkan kota Sriwijaya.
Sebenarnya Iskandar Zulkarnaen Alamsyah sangat mencintai Sriwijaya. Namun apa boleh buat, dia tidak punya pilihan selain pergi meninggalkan Sriwijaya. Semenjak kejadian itu orang-orang Sriwijaya memanggilnya Raja Si Gentar Alam, yang artinya raja yang kesaktiannya mampu menggetarkan alam.
Iskandar Zulkarnaen Alamsyah atau Si Gentar Alam pergi meninggalkan kota Raja ke pesisir Malaka.
Ternyata disana juga telah masuk dan berkembang agama Islam. Nantinya Si Gentar Alam dan pengikut setianya berjumpa dengan pelaut setempat yang bernama Hang Tuah dan mereka merebut wilayah itu dari Sriwijaya dan mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Kesultanan Malaka.
Beliau mendirikan sebuah kesultanan yang bernama Kesultanan Malaka. Iskandar Zulkarnaen Alamsyah menjadi Raja pertama Kesultanan Malaka yang bergelar Sultan Iskandar Syah dan menikahi bangsawan setempat yang bernama Puteri Rambut Selaka.
Setelah ada penerus Sultan Iskandar Syah kembali ke Palembang. Kala itu Sriwijaya telah runtuh. Beilau bersama para pengikut setianya tinggal di sana hingga belia wafat dan dimakamkan di Bukit Siguntang (bukit yang tiba-tiba muncul setelah bencana alam di kota Sriwijaya).
Kembali ke masa Sriwijaya, setelah kepergian Iskandar Zulkarnaen Alamsyah, Kerajaan Sriwijaya mengalami kekosongan Tahta. Para menteri pemuka agama segera mengadakan pertemuan membahas siapa yang pantas menduduki tahta kerajaan setelah cukup lama berdiskusi mereka menganakt Sarjana Agama yang baru saja pulang dari India untuk menjadi Raja.
Nama asli beliau tidak diketahui. Maka resmilah beliau menjadi Raja Sriwijaya dengan gelar Raja Sri Sanggramawijayatunggawarman. Sayangnya, pada masa kepemimpinannya, Sriwijaya mengalami kemunduran. Banyak para pejabat yang koruptor dan menindas rakyat demi kepentingan mereka.
Hanya seorang panglima tertinggi serta bawahan-bawahannya saja yang masih setia dengan Sang Raja.
Nama Panglima itu adalam Panglima Jairo. Kerapuhan Sriwijaya ternyata tercium oleh Kerajaan Cola di India. Kesempatan emas itu tidak dilepaskan oleh Raja dari Kerajaan Cola.
Mereka menguasai Sriwijaya secara besar-besaran. Serangan Kerajaan Cola membuat Sriwijaya semakin rapuh di tambah ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Singosari yang tiada henti sejak dulu hingga akhirnya Kerajaan Singasari sendiri runtuh.
Sriwijaya benar-benar runtuh ketika kerapuhan mereka ditambahi oleh pasukan Patih Gajah Mada dari Majapahit yang membuat Raja Sriwijaya berhasil ditawan. Namun hal itu tidak membuat Panglima Jairo mundur. Bersama para prajuritnya, Panglima Jairo terus berperang walaupun harus gugur di medan perang.
BUKIT SIGUNTANG
Bukit Siguntang merupakan salah satu tempat bersejarah bagi Kerajaan Sriwijaya khususnya pada pemerintahan Raja Cudamaniwarmadewa atau yang akrab disebut dengan nama Raja Si Gentar Alam.
Selain itu, Bukit Siguntang juga merupakan pusat kekuatan gaib di Sumetera Selatan. Pasalnya Bukit Siguntang adalah tempat Raja Si Gentar Alam memperdalam ilmu kesaktiannya dan juga merupakan tempat kesukaan Sang Raja. Begitu cintanya Raja Si Gentar Alam terhadap Bukit Siguntang, sehingga Sang Raja meminta dimakamkan di bukit tersebut.
Jika dirasakan dengan deteksi bathin kekuatan mistis di Bukit Siguntang begitu kuat. Hal itu karena di Bukit Siguntang tertanam benda-benda pusaka milik Sang Raja. Pusaka-pusaka itu antara lain keris Si Gentar Alam, tombak Si Gentar Alam, Panah Seribu Mata, dan juga harta peninggalan Sang Raja yang jumlahnya akan membuat mata siapapun menjadi terbelakan jika melihatnya.
Kata juru kunci Bukit Siguntang, pernah di bukit tersebut dijadikan ajang uji nyali oleh salah satu stasiun televisi swasta. Karena mereka tidak mengindahkan kata-kata sang juru kunci tersebut. Akhirnya terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan oleh kru dan si peserta uji nyali tersebut.
Menurut hasil dialog bathin Misteri dengan sosok gaib Raja Si Gentar Alam, bahwa harta karun miliknya itu mampu menutupi hutang-hutang negara ini. Namun tidak sembarang orang mampu menarik harta karun karena harta karun itu sudah ada yang "berhak".
Dan jika ada orang yang nekad untuk mengangkat/mencuri harta karun tersebut maka Sang Raja (juga keturunannya) tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pencurinya. Selain itu Bukit Siguntang juga cook sekali menjadi tempat untuk memperdalam ilmu kesaktian terutama ilmu kanuragan.
Sebab aura mistis Bukit Siguntang didominasi sepenuhnya oleh aura Raja Si Gentar Alam yang sama sekali tidak memiliki ilmu Pengasihan (hal itu Misteri dapat dari hasil dialog bathin dengan sosok gaib Raja Si Gentar Alam). Walaupun di bukit itu juga terdapat aura pengasihan dari sosok gaib Puteri Kembang Dadar yang merupakan anak angkat dari Raja Si Gentar Alam.
Namun satu hal yang perlu diingat, Bukit Siguntang memang diselimuti kabut atau aura mistis yang sangat kuat dan cocok untuk mendalami ilmu kesaktian, kiranya semua kembali berpulang kepada kehendak Allah SWT. Begitu saja pesan dari Raja Si Gentar Alam pada Misteri sewaktu dialog batin.
SUNGAI MUSI
Sungai Musi merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Selatan. Sungai Musi juga menjadi pintu gerbang dan kebanggaan masyarakat kota Palembang. Selain itu Sungai Musi merupakan jalur perdagangan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga kini. Banyak warga Kota Palembang dan sekitarnya yang menggantungkan hidupnya di sungai yang membelah Kota Palembang itu.
Saat ini pemerintah Kota Palembang telah melakukan perubahaan besar terdapat keindahan sungai yang legendaris itu. Hal itu terbukti dari banyaknya dibangun tempat-tempat untuk bersantai di tepian sungai yang legendaris itu.
Hal itu terbukti dari banyaknya dibangun tempat-tempat untuk bersantai ditepian sungai itu. Misteripun merasakan kedamaian dihati saat bersantai ditepian Sungai Musi. Selain itu, Sungai Musi juga terkenal akan keangkerannya. Telah beberapa kali Majalah Misteri kesayangan kini memuat tulisan seputar keangkeran Sungai Musi.
Sungai tersebut dikuasai oleh sosok gaib yang namanya tak asing lagi bagi warga Kota Palemgbang. Sosok gaib itu bernama Raden Tokak. Raden Tokak yang berwujud buaya besar berwarna hitam itu merupakan bagian dari tentara gaib Kerajaan Sriwijaya.
Raden Tokak adalah anak dari Ratu Buaya yang bernama Ratu Sangklang yang berkuasa di Sungai Ogan, di desa Pemulutan, Ogan Komering Ilir. Raden Tokak juga saudara kandung dari Raden Kuning, sesosok buaya gaib yang besar dan berwarna kuning. Bedanya Raden Tokak adalah hasil dari perkawinan Ratu Sangklang dengan soerang manusia penganut ilmu buaya.
Pusat Kerajaan Raden Tokak berada tak jauh dari Jembatan Ampera. Berbeda dengan suadara kandungnya yang satu lagi bernama Raden Kedal. Raden Kedal adalah anak bungsung dari Ratu Sangklang, sosok Raden Kedal berupa buaya besar dan berwarna putih.
Raden Kedal beserta isterinya bermukim di bawah jembatan Musi Dua. Saat ini Raden Kedal mendampingi keturunan Raja Si Gentar Alam. Selain dihuni oleh buaya-buaya gaib, Sungai Musi mempunyai cerita yang tak kalah serunya. Sungai Musi adalah tempat bertapanya Raja Pertama kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang.
Raja Dapunta Hyang menjadi Sungai Musi tempat bertapanya untuk memperdalam ilmu kesaktian. Hebatnya lagi, Raja Dapunta Hyang bertapa bukan seperti Tapa Kumkum yang hanya berendam di sungai, melainkan tapa yang dilakukan Raja Dapunta Hyang dilakukan di dasar sungai yang dalamnya tidak hanya sekedar lima sampai sepuluh meter saja.
SUNGAI OGAN
Sama seperti Sungai Musi, Sungai Ogan juga memiliki cerita seputar Kerajaan Sriwijaya. Sungai Ogan memiliki cerita seputar kerajaan Sriwijaya. Sungai Ogan merupakan tempat bersandarnya kapal-kapal perang dan kapal-kapal angkut tentara Kerajaan Sriwijaya.
Tepian Sungai Ogan menjadi tempat pelatihan bagi para tentara Kerajaan Sriwijaya yang gagah perkasa. Sungai Ogan kini dikuasai oleh Raden Kuning yang menggantikan ibunya yang bernama Ratu Sangklang, semenjak sang ibu mendampingi keturunan Raja Si Gentar Alam.
Penghuni-penghuni gaib Sungai Ogan, rata-rata telah memeluk agama Islam. Karena Sungai Ogan merupakan tempat berlabuhnya para Walilullah dari Baghdad pada umum ya yang menyebarkan agama Islam di bumi Sriwijaya. Para walilullah penyebar agama Islam dari Timur Tengah tersebut rata-rata bermukim di tepian Sungai Ogan.
Konon penyebaran agama Islam di Bumi Sriwijaya berpusat di tepian Sungai Ogan. Para walilullah tersebut membangun pemukiman yang akhirnya menjadi sebuah desa yang kini bernama Desa Pemulutan.
PENINGGALAN-PENINGGALAN SEJARAH
Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada tahun 638 M oleh Dapunta Hyang telah mengenal seni ukir dan pahat. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti-prasasti dan patung-patung yang bernuansa bercorak agama Budha.
Raja Sriwijaya yang gemar akan seni ukir dan pahat adalah Raja Balaputeradewa. Terbukti dari hampir setiap prasasti dan patung-patung yang ditemukan merupakan peninggalan atau dibuat pada masa Raja Balaputeradewa.
Dari hasil dialog batin Misteri dengan Raja Balaputeradewa, Misteri mengetahui bahwa sosok gaib Sang Raja masih sering mengunjungi peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya pada masa dirinya berkuasa.
Berbeda dengan Raja Si Gentar Alam. Beliau lebih suka dengan alam. Maka tak heran jika peninggalan-peninggalan beliau berupa ukiran-ukiran yang konon dibuatnya dengan ilmu kesaktiannya dengan menghentakkan kakinya ke bumi. Bukit-bukit itu antara lain Bukit Siguntang di kota Palembang, Bukit Saiyak di Ogan Komering Ilir, dan Bukit Jempol di Lahat.
Lain raja, lain pula kegemarannya. Raja Dapunta Hyang tidak begitu banyak meninggalkan prasasti-prasasti ataupun peninggalan-peninggalan lainnya. Itu disebabkan karena semasa pemerintahannya, Dapunta Hyang lebih suka menjajah negeri-negeri di sekitar kerajaannya.
Yah, perang memang suatu kegemarannya dan prestasinya juga mengagumkan, Dapunta Hyang belum pernah merasakan kekalahan di medan perang.
OLEH : ARYYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar